Sabtu, 18 September 2010

Balada Seorang Pedagang Kecil

Siang hari ini terasa begitu menyengat. Entah mengapa suhu udara kota Surabaya terasa semakin panas. Cuaca pun terkadang tidak menentu, suatu waktu bisa panas menyengat, namun kemudian bisa tiba-tiba mendung dan turun hujan. Selasa itu, aku yang sedang dalam perjalanan pulang setelah dari kampus, terus memacu motorku sembari menahan rasa panas yang kurasa. Keringat pun menetes lumayan deras dari dahiku. Kemudian, tak berselang beberapa lama aku melihat seorang penjual minuman di pinggir jalan yang sedang menjajakan dagangannya. Tanpa ragu aku pun menepi dengan maksud untuk membeli minuman, untuk sekedar melepas rasa dahaga.
“Mang, es Teh satu ya.” kataku kepada pedagang itu. “Iya, mas. Sebentar ya saya bikinkan.” ujar pedagang itu. Tak berselang beberapa lama setelah aku duduk di kursi yang telah disediakan disitu, segelas es teh manis pun tersaji di hadapanku. Hmm..minuman sederhana itu pun terasa begitu nikmat di tengah teriknya sinar matahari siang itu. Sambil menikmati minumanku, aku pun bercakap-cakap dengan pedagang itu. “Gimana Mang hari ini, laris dagangannya?” tanyaku. “Ya lumayanlah, mas. Karena cuaca yang lagi panas begini, dagangan saya jadi agak lebih laris dari biasanya. Yah, paling tidak cukuplah buat makan anak istri saya dirumah.” jawab pedagang itu. “Sudah lama jualan disini, Mang?” tanyaku lagi. “Ya nggak juga sih, Mas. Saya ini sering pindah-pindah tempat jualan, Mas. Ini juga sudah tempat kelima yang saya tempati. Susah mas kalau untuk jualan menetap disini saja. Kadang saya harus kucing-kucingan sama Satpol PP, belum lagi kalau sampai dagangan saya disita, mau makan apa nanti anak istri saya.” ujar pedagang itu dengan nada agak memelas.
Namanya Mang Udin, asalnya dari Solo, namun dia sudah cukup lama tinggal di Surabaya. Harapannya tentu untuk bisa setidaknya memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Sebagai seorang kepala keluarga, mau tidak mau dia harus menghidupi seorang istri dan dua orang anaknya yang masih cukup kecil. Meski dia harus berjuang begitu keras, namun dia tak pernah mengeluh ataupun menyesal akan kehidupannya. Dia juga bercerita bahwa sudah sekitar 2 tahun ini dia menjadi seorang pedagang minuman. Sebelumnya dia pernah menjadi penjual koran keliling. Pernah juga menjadi tukang semir sepatu. Itu semua dia lakukan untuk menghidupi keluarganya. Asalkan keluarganya bisa memperoleh sesuap nasi, apapun akan rela dia kerjakan, asalkan itu halal. “Berat juga ya kehidupannya Abang. Saya salut lho sama Abang, biar berat, tapi Abang tetap ikhlas buat ngejalaninnya.” ucapku dengan nada sedikit kagum. “Ya, percuma lah Mas kalau saya mengeluh, nggak ada gunanya, kan lebih baik saya bekerja keras untuk anak istri saya, biar mereka tetap bisa makan. Saya sih mau bekerja apa saja Mas, yang penting, apa yang saya kerjakan harus halal. Biar saya saja yang bekerja keras, untuk anak istri di rumah.” kata Mang Udin kepadaku sambil melayani pembeli lain.
Sejak hari itu aku begitu salut kepada Mang Udin. Di tengah beban hidupnya yang cukup berat, dia tidak mengeluh, justru dia terus berjuang dengan penuh keikhlasan, agar dia bisa tetap menghidupi keluarganya. Aku pun merasa malu dengannya. Terkadang aku masih mengeluh dengan apa yang aku miliki. Padahal, aku jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan Mang Udin. Banyak hal dalam hidupku yang lebih mengenakkan jika dibanding Mang Udin. Aku belum harus bekerja, apa yang aku inginkan bisa minta ke Orang Tua, dan aku juga tak perlu menghidupi siapapun. Kemudian, di samping semuanya itu, aku juga bisa menempuh pendidikan yang layak, bahkan sampai ke Perguruan Tinggi. Jangankan sekolah, untuk makan saja Mang Udin harus bekerja keras. Bahkan mungkin, karena beban hidupnya, ia tak pernah sedikitpun memikirkan tentang pendidikan untuk dirinya sendiri. Sejak saat itu aku banyak belajar dari kehidupan Mang Udin. Aku pun mensyukuri setiap apa yang kumiliki dalam hidupku, sekecil apapun hal itu.
Seminggu kemudian aku mendapatkan sedikit rejeki setelah cerpen buatanku dimuat di salah satu surat kabar. Aku pun teringat pada Mang Udin, terbersit keinginan untuk berbagi kebahagiaan dengannya. Tanpa pikir panjang aku pun segera memacu kendaraanku untuk segera menuju ke tempat Mang Udin biasa berjualan. Namun, sesampainya disana aku tidak melihat Mang Udin maupun dagangannya. Dalam hati aku bertanya-tanya dimana Mang Udin yang biasanya berjualan disana. Sambil menahan rasa kecewa aku pun mengurungkan niatku untuk menjumpai Mang Udin.
Keesokan harinya aku membaca salah satu artikel di surat kabar yang memberitakan mengenai seseorang yang menjadi korban akibat, ditabrak mobil. Aku merasa mengenal korban melalui foto yang ada disitu. Aku pun menyadari bahwa korban tersebut adalah Udin Suprapto, atau Mang Udin. Aku pun terkejut setelah membaca berita tersebut. Ternyata Mang Udin telah meninggal akibat tertabrak mobil. Dia tertabrak saat mencoba melarikan diri dari Satpol PP yang sedang melakukan rasia. Aku pun begitu bersedih mendengar kabar itu. Aku kecewa karena seorang seperti Mang Udin yang tanpa menyerah berjuang untuk keluarganya, harus menjadi korban ketidakadilan. Padahal, dia hanya ingin membahagiakan keluarganya, namun apa daya kehidupan begitu tidak adil bagi dia dan keluarganya. Meskipun begitu singkat, namun begitu banyak pelajaran mengenai kehidupan yang kudapat dari Mang Udin. Aku pun berjanji pada diriku sendiri mulai saat itu akan mensyukuri semua yang aku dapat dalam kehidupan ini, dan tidak akan menyia-nyiakan semua yang aku miliki dan dapatkan. Karena masih banyak orang yang kurang beruntung di luar sana yang mungkin lebih layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan tidak seharusnya mengalami pahitnya kehidupan. Tiada kata lain yang bisa kuucapkan bagi Mang Udin. Dalam hati pun aku hanya bisa berucap, “Terima Kasih, Mang Udin, untuk semua pelajaran hidup yang kau berikan.”

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates